Minggu, 22 Agustus 2010

ACEH DARI MASA KE MASA
Aceh sebuah Entitas politik dari masa awal terbentuk sebuah kerajaan Aceh dan peradaban Umat manusia di mulai di negara serambi mekkah ini. Dimana pengaruh Islam bisa masuk dan mengislamkan semua masyarakat Aceh yang awalnya menganut keyakinan Animisme. pergulatan demi pergulatan sosial,politik dan Ekonomi telah membuat negeri ini berada dalam bingkai pergolakan baik dengan pusat dan sesama bangsa Aceh sendiri.
Penguasaan Ideologi oleh satu generasi maupun tokoh telah membuat cara hidup dan pola pikir masyarakat Aceh.

1. MASA HAMZAH FANSURY
Hamzah fansury adalah salah satu tokoh Aceh yang sangat berjasa dalam mempopularkan Aceh dengan ilmunya. Hamzah al-Fansuri atau dikenal juga sebagai Hamzah Fansuri adalah seorang ulama sufi dan sastrawan yang hidup di abad ke-16. Meskipun nama 'al-Fansuri' sendiri berarti 'berasal dari Barus' (sekarang berada di provinsi Sumatra Utara) sebagian ahli berpendapat ia lahir di Ayuthaya, ibukota lama kerajaan Siam.
Hamzah al-Fansuri lama berdiam di Aceh. Ia terkenal sebagai penganut aliran wahdatul wujud. Dalam sastra Melayu ia dikenal sebagai pencipta genre syair.
aya akan berpijak pada literatur yang saya ketahui. Mengenai riwayat hidup Hamzah Fansuri tidak satu pun catatan, baik tahun kelahirannya maupun tahun meninggalnya—sehingga sampai saat ini banyak para peneliti berselisih faham. Salah satu faktor yang menyebabkan kekaburan ini karena Beliau tidak mencantumkan tahun dalam karya-karyanya—walaupun Hamzah merupakan pengarang Melayu pertama yang mengarang karya-karya bersifat ilmiah dengan mencantumkan nama dalam karyanya—hal ini kemudian menjadi ikutan dan kebiasaan oleh pengarang-pengarang Melayu berikutnya. Catatan mengenai Beliau hanya dapat kita rujuk pada karya-karya pengikutnya antara lain Hasan Fansuri, ‘Abdul-Jamal, dan Syamsuddin Pasai. Sedangkan tulisan Nuruddin ar-Raniri hanya menyebut nama Hamzah Fansuri dalam kitabnya Tibyan—dalam kitab ini Nuruddin menyerang serta menuduh Hamzah dan Syamsuddin berfaham sesat, dengan menamakannya Wujudiyah dhalala. Selanjutnya dalam kitab Nuruddin yang lain berjudul Bustan al-Salatin terutama bab II pasal 13 tentang sejarah Kerajaan Aceh juga tidak menyebutkan nama Hamzah Fansuri padahal isi kitab ini membicarakan tentang kegiatan-kegiatan para ulama; kapan mereka sampai di Aceh serta ilmu-ilmu apa saja yang mereka ajarkan hingga tahun mereka meninggal di Aceh. Memang ini agak lucu karena ajaran dan karya-karya Hamzah telah berkembang subur di Kerajaan Aceh. Yang dikemudian hari diteruskan oleh murid-muridnya terutama oleh Syamsuddin Pasai yang menjadi ulama istana pada jaman Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayid al-Mukammil (1588-1604). Dalam ajaran martabat tujuh—menjadi sendi utama ajaran Syamsuddin terangkum dalam kitab Tuhfah banyak mengutip dan mengulas karya-karya Hamzah yang merupakan seorang tokoh yang dikaguminya. Bahkan menurut sejarah kedudukan Syamsuddin lebih kuat lagi pada zaman kerajaan Sultan Iskandar Muda. Raja ini bukan saja merupakan muridnya, tetapi juga pengikutnya dalam ajaran wahdatul-wujud. Lalu siapakah sebenarnya Hamzah Fansuri? Mengutip pendapat Francois Valentijn (dalam T.Iskandar, 1996) dengan bukunya Oud en Niew Oost-Indien (1726) menyebutkan Hamzah Pantsoeri sebagai seorang penyair termashyur yang dilahirkan di Pantsoer (Barus) sehingga daerah ini pun ikut menjadi terkenal. Dalam konteks kekinian Barus merupakan salah satu daerah di Kabupaten Tapanuli Tengah, secara geografis terletak di pesisir barat pulau Sumetera, dan secara dialektologi penduduknya mayoritas menggunakan bahasa Mandailing. Pada jaman Hamzah daerah ini merupakan pusat perdagangan dengan penduduk yang ramai. Menurut Van der Tuuk dan Doorenbos nama Fansur adalah ucapan Arab untuk Pancur yang oleh orang Batak disebut Pansur. Sebelumnya Barus disebut Pangsur. Dengan demikian dapat diberi kesimpulan bahwa nama Hamzah Fansuri berarti Hamzah berasal dari Barus. Namun Syed Muhammad Naguib Al-Attas berpendapat lain, dalam bukunya The Mysticism of Hamzah Fansuri mengemukakan bahwa Hamzah berasal dan lahir di Syarnawi, Ayuthia (ibu kota Siam pada jaman dahulu). Ia berpedoman pada rangkap syair Hamzah nin asalnya Fansuri/mendapat wujud di tanah Syarnawi. Rupanya larik mendapat wujud di tanah Syarnawi diartikannya Hamzah lahir di sana. Kalau kita lihat konteks ini merupakan suatu kekeliruan karena kata wujud dalam rangkap syair tersebut tidak dapat dimaknai dan diartikan demikian, karena pada karya Hamzah yang lain menggunakan kata wujud dalam arti yang lain pula; rahman itulah yang bernama wujud, atau dalam karya Hamzah yang berjudul Asrar al-‘Arifin dikatakan jikalau sini kamu tahu akan wujud/itulah tempat kamu syahud. Dengan demikian, rangkap syair di atas tadi mengindikasikan Hamzah belajar ilmu agama atau “bertemu” dengan Tuhan di Syarnawi. Kalau mengutip pendapat Syed Muhammad yang menganggap kegiatan Hamzah Fansuri telah dimulai sebelum dan selama pemerintahan Sulthan Alaiddin Riayat Syah Sayidil Mukamil yang memerintah kerajaan Aceh Darussalam (1589-1604 M), atau kesimpulan Drewes yang menyatakan Hamzah Fansuri telah aktif pada jaman Sultan Alauddin, putera Sultan Ahmad Perak dan Sulthan Alaiddin Riayat Syah Sayidil Mukamil, sehingga beliau lebih terkenal di kerajaan Aceh daripada tempat asalnya Barus—sebagian sejarah mengatakan Hamzah Fansuri berasal dari Aceh. Hal ini dapat dimaklumi karena setelah jatuhnya Melaka ke tangan orang Portugis (1511) dan Kerajaan Pasai dikalahkan oleh Kerajaan Aceh (1524) maka secara otomatis pusat kebudayaan Melayu berpindah ke Bandar Aceh Darussalam. Kegiatan-kegiatan kesusasteraan, agama dan penulisan sejarah yang telah mulai di Pasai terus dilanjutkan di kerajaan ini. Begitu juga halnya dengan pembukaan undang-undang yang telah dimulai di kerajaan Melaka. Sebagai seorang ulama dan cendikiawan Melayu, dengan mobilitas yang tinggi sering berpindah tempat (salah satu ciri khas penyair Melayu klasik suka berpetualang) sehingga kemungkinan besar Hamzah Fansuri pun ikut pindah ke Bandar Aceh Darussalam dengan tujuan untuk lebih mudah mengembangkan karya maupun ajarannya. Hal ini dibuktikan dengan hijrahnya para ulama dan pujangga ke kerajaan baru ini. Salah seorang yang hijrah dari Pasai adalah murid Hamzah sendiri yaitu Syamsuddin Pasai, setelah menamatkan pelajaran di luar negeri, tidak kembali ke tanah kelahirannya tetapi menetap di Kerajaan Bandar Aceh Darussalam. Dengan demikian bisa saja muncul hipotesa bahwa Hamzah Fansuri merupakan penyair dari Mandailing karena lahir Barus. Ataupun beliau penyair dari Aceh karena kemungkinan besar Barus dulunya berada dibawah kekuasaan Kerajaan Pasai dan Kerajaan Bandar Aceh Darussalam. Dalam konteks kekinian, Riau yang baru saja menyelesai hajatan besar yaitu konfrensi Melayu dunia (4-6 Desember 2007) telah mencanangkan budaya dan bahasa Melayu dijadikan bahasa dan budaya Internasional (PBB) suatu hal yang patut kita dukung. Kalau kita telusuri karya yang ada di Riau terutama karya Raja Ali Haji sebut saja; Bustan al-Katibin (1850), Gurindam Dua Belas (1847), Kitab Pengetahuan Bahasa (1858), dan lain-lain semua merujuk pada karya yang pernah ada di Aceh, terutama Hamzah Fansuri dan ikutannya. Lalu apakah hubungannya dua rantau Melayu ini? Hal ini perlu diteliti lebih dalam. Namun yang jelas Hamzah Fansuri adalah seorang penyair Melayu yang agung.


Tidak ada komentar: