Kamis, 08 Juli 2010

Senin, 05 Juli 2010

Pesimisme dan Optimistik

Pesimisme dan Optimistik

Keluhan dan pesimisme adalah kewajaran pada hari ini. Begitu PemerintahcAceh menjadi topik pembicaraan, maka lebih sering Pemerintah Aceh dipandang dari sisi negatif. Aceh penuh dengan kegagalan, deretan kesemrawutan, dan kekurangan yang tanpa habis. Lihat deretan seminar dan diskusi, baik di hotel berbintang maupun di kampus-kampus, atau obrolan rakyat Di meunasah hingga dengan obrolan di warung kopi. Lihat berita di Media cetak, di sana padat dengan kabar buruk. Tanpa sadar kita lebih sering dan lebih suka membicarakan pemerintah Aceh dengan pandangan negatif.

Mengapa kita lebih suka memfokuskan pada kegagalan sambil mengabaikan kemajuan? Bangsa kita memiliki stok masalah yang luar biasa banyaknya. Apa saja yang kita bicarakan pasti di sana ditemukan masalah, pasti ada kekurangan. Berbicara kesejahteraan, maka kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan, Laporan Bank Dunia (2008) memperlihatkan bahwa kemiskinan di Aceh sedikit meningkat pasca bencana tsunami, dari 28,4 persen pada tahun 2004 mencapai 32,6 persen pada tahun 2005. Hal ini berlawanan dengan tingkat penurunan kemiskinan yang terjadi pada wilayah-wilayah lain di Indonesia. Peningkatan tersebut termasuk relatif kecil mengingat besarnya kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh tsunami dan juga mencerminkan dampak yang positif dari upaya awal rekonstruksi. Tingkat kemiskinan menurun pada tahun 2006 hingga mencapai 26.5 persen, lebih rendah dari tingkat kemiskinan sebelum tsunami, menunjukkan bahwa peningkatan kemiskinan yang berkaitan dengan tsunami tidak berlangsung lama dan aktivitas rekonstruksi kemungkinan besar memfasilitasi penurunan tersebut. Pada tahun 2006, dan tahun 2009 turun lagi menjadi 21,83 persen.tingkat kemiskinan di Aceh menurun, sementara tingkat kemiskinan di wilayah-wilayah lain meningkat. Walaupun demikian, kemiskinan di Aceh tetap jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah-wilayah lain di Indonesia.

Berbicara pendidikan, maka kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa pendidikan di Aceh memiliki skor sangat rendah dan di bawah minimal, pada tahun ini Pendidikan kita berada di Bawah papua barat. Berbicara tentang kesehatan, maka standar pelayanan kesehatan kita sangat rendah. Berbicara tentang lingkungan hidup, maka situasi kita memprihatinkan.

Tidak adakah keberhasilan di seurambi mekkah ini? Ada banyak, tapi kita tidak membicarakan. Saat negeri ini berhenti dari suara letusan Peluru dan hantaman tsunami 2004 lalu, masih banyak masyarakat negeri ini buta huruf. Bayangkan, 4 juta lebih manusia diseurambi mekkah yang sanggup bertahan dari konflik dan benacana tsunami tak lain hanyalah untuk meneruskan pembangunan dan perbaikan dari masa kegagalan,bahkan sanggup mendorong revolusi, tapi tidak bisa menulis nama sendiri. Kita buta huruf secara kolosal. Hari ini rakyat aceh yang buta huruf tinggal sekitar 8 persen. Itu pun mayoritas adalah penduduk lanjut usia. Bangsa mana di indonesia selain Papua, yang anggarannya 7,5 T lebih , yang bisa memutarbalikan buta huruf total menjadi melek huruf total? Itu adalah pencapaian luar biasa. Itu adalah prestasi kolektif seluruh bangsa, bukan prestasi satu-dua pemerintahan. Hari ini hampir ke mana pun kita pergi, kita bisa berdialog dengan rakyat yang melek huruf. Lihat India, lebih dari 60 tahun merdeka dan 40 persen rakyatnya masih buta huruf.

Melek huruf adalah awal keberhasilan. Akses pada pendidikan berkualitas untuk setiap Rakyat Aceh adalah janji berikutnya yang harus dilunasi. Saya membayangkan suatu saat nanti jika kita ditanya tentang apa kekayaan Aceh dan jawabnya bukan lagi melimpahnya minyak, tambang, gas, hutan, dan kekayaan, tapi jawabnya adalah ''manusia Aceh''; saat itu menandai bahwa negeri ini mulai masuk era kemajuan.

Dari sisi kesejahteraan, Pasca penandatanganan MoU Helsinki,sebenarnya perekonomian di Aceh berpotensi untuk terus berkembang ke arah yang lebih baik jika jajaran Pemerintah Aceh dan stakeholder pembangunan di Indonesia memiliki action plan, work plan dan development strategies yang jelas dan terarah, Aceh mendapatkan punishment dari pihak Pemerintah Pusat karena lemahnya daya serap dana APBN dan APBA/APBK. sebab 1 minggu menjelang berakhirnya tahun 2009 ternyata daya serap anggaran tersebut tidak "lebih dari 52%. Kinerja Pemerintah Aceh lemah. Lemahnya realisasi anggaran tersebut membuat dana besar triliunan itu sia-sia belaka. ini cukup mengkhawatirkan karena bisa mempengaruhi keuangan Aceh untuk tahun berikutnya,seperti tahun ini pemerintah pusat bisa memotong pendapatan hingga 20 .Seharusnya pemerintah Aceh selaku pengelola APBA bertanggung jawab, dan bekerja maksimal.

Ironisnya, di dalam negeri kita berkeluh kesah, sementara di luar kita dipandang dengan penuh decak kagum. Aceh dinilai dunia sebagai negeri syariat islam, memiliki pembangunan positif, dan mampu bangkit kembali setelah dihantam golombang tsunami.

Dua hal di atas adalah sekadar contoh bagaimana sesungguhnya kita bisa melihat fenomena di Aceh secara positif. Sudut pandang positif bisa membulatkan hati kita bahwa kemajuan itu senyatanya terjadi di Di daerah Outsus ini. Dengan kata lain, menilai situasi Aceh harus juga melalui membandingkan antara Aceh sekarang dan Aceh dulu. Tidak hanya membandingkan realitas sekarang dengan kondisi ideal, atau dengan daerah lain.

Kita perlu memperhatikan kemajuan dan keberhasilan. Melihat yang sudah dicapai, tidak hanya memperhatikan yang belum dicapai. Keseimbangan dan objektivitas bisa mendorong kita untuk memiliki optimisme. Apa lagi bila kita bisa secara cerdas membedakan antara sikap optimistis dan sikap mendukung pemerintah, serta membedakan sikap kritis dengan sikap pesimistis. Optimis terhadap bangsa tidaklah mendukung pemerintah. Sikap kritis justru harus dipertahankan, tapi sikap pesimistis harus dihapus dan jangan takut untuk optimistis.

Optimisme tersebut hanya ''modal awal''. Sikap itu mesti diikuti dengan semangat melakukan perubahan, pembaruan, dari semua level, dan di segala sektor masyarakat. Pandangan positif dan optimistis digandakan menjadi pandangan kolektif seluruh bangsa.

Coba tengok masa lalu. Ketika Aceh ini mengumpulkan Modal buat pusat, para pemimpin memiliki seluruh persyaratan untuk pesimistis. Kemiskinan merata, kebodohan di mana-mana, kekerasan merebak, dan kekacauan juga terjadi di mana-mana. Negara tanpa anggaran. Tetapi, mereka memilih optimis. Mereka gandakan optimisme itu menjadi optimisme kolektif seluruh bangsa. Kombinasi antara integritas tinggi para pemimpin dan optimisme kuat menjadi pendorong kemajuan daerah Outsus yang sangat muda ini. Bandingkan, hari ini kita memiliki banyak persyaratan untuk optimis. Tapi, kita sering memilih membicarakan kegagalan, bukan keberhasilan. Mengungkap yang belum dicapai, bukan yang sudah dicapai. Menuding yang salah-salah, bukan memperbanyak cerita sukses. Akibatnya, seuramo meukkah ini dirudung pesimisme. Aceh mengalami defisit optimisme. Kita harus merombak suasana itu. Pesimisme yang meruyak di mana-mana harus kita putar balikkan. Bersediakah kita berkaca dan menilai diri sendiri: apakah kita sudah bersikap positif dan optimistis? Jika belum, mari kita mulai membangun kembali nuansa positif dan optimistis itu.

ketua Umum Ikatan pelajar pemuda Mahasiswa Aceh malang 2010-2011