Sabtu, 29 Januari 2011

Merevisi Qanun Pemilukada


Amrizal J prang: Opini

PASCA-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35/PUU-VIII/2010, yang membatalkan Pasal 256 UUPA mengenai pembatasan calon perseorangan, karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945. Keniscayaan, UUPA harus direvisi dan mengakomodir kembali dalam revisi Qanun No. 2/2004 jo Qanun No. 3/2005 jo Qanun No.07/2006 tentang pilkada Aceh. Oleh karena itu, kalau ada pihak yang mengatakan tidak perlu lagi mangakomodir dan mengabaikan putusan MK adalah pernyataan keliru.

Karena, berdasarkan Pasal 10 UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi putusannya bersifat final dan mengikat. Kalau tidak dipatuhi oleh para pembuat dan pelaksana qanun Aceh, tentu saja dapat berimplikasi hukum. Disamping, (revisi) qanun pemilukada akan bertentangan dengan UU dan dapat dibatalkan, juga akan berpengaruh pada perhelatan pemilukada. Di mana, para calon peserta perseorangan akan menggugat pemerintahan Aceh dan KIP terhadap pembatasan mereka.

Perbedaan material
Dalam pandangan saya, revisi qanun tersebut keniscayaan calon perseorangan diakomodir kembali. Oleh karena itu, menarik untuk ditelaah meskipun salah satu pertimbangan MK membatalkan Pasal 256 mengacu UU No.32/2004 jo UU No.12/2008. Namun, terdapat beberapa perbedaan substansi (materil) dengan UUPA, sebagimanana diatur Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 UUPA yang sampai saat ini masih berlaku dan tidak dibatalkan.

Misalnya, Pasal 68 ayat (1) UUPA mengatur, untuk calon perseorangan dalam pemilihan gubernur/wakil gubernur memperoleh dukungan minimal 3% jumlah penduduk tersebar minimal 50% dari jumlah kabupaten/kota dan untuk pemilihan bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota 50% jumlah kecamatan.

Sementara, Pasal 59 ayat (2a) huruf a UU No.12/2008 mensyaratkan pemilihan gubernur/wakil gubernur memperoleh dukungan minimal 6,5% jumlah penduduk sampai dua juta jiwa. Huruf b, yang berpenduduk dua juta-enam juta jiwa, didukung minimal 5%. Huruf c, yang berpenduduk lebih dari enam juta-dua belas juta jiwa, didukung minimal 4%. Dan, huruf d, yang berpenduduk lebih dari dua belas juta jiwa, didukung minimal 3%. Dimana, jumlah dukungan tersebar lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota di provinsi tersebut.

Sedangkan, ayat (2b) huruf a, mensyaratkan pemilihan bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota, didukung minimal 6,5% jumlah penduduk kabupaten/kota sampai dua ratus lima puluh ribu jiwa. Huruf b, yang berpenduduk dua ratus lima puluh ribu-lima ratus ribu jiwa, didukung minimal 5%. Huruf c, yang berpenduduk lebih dari lima ratus ribu-satu juta jiwa, didukung minimal 4%. Dan, huruf d, yang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa, didukung minimal 3%. Dimana, jumlah dukungan tersebar lebih dari 50% jumlah kecamatan.

Menelaah konteks ini ada empat perbedaan. Pertama, jika jumlah penduduk Aceh sekitar 4 juta jiwa lebih, mengacu UU No.12/2008, maka untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur syarat dukungan 5% jumlah penduduk. Sedangkan, menurut UUPA membutuhkan dukungan 3% jumlah penduduk. Kedua, pemilihan bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota, mengacu UU No.12/2008, jika berbeda jumlah penduduk maka berbeda pula persyaratan dukungannya mulai dari 6,5%-3% jumlah penduduk. Sementara UUPA, persyaratannya minimal 3% jumlah penduduk, dengan tidak melihat banyak atau sedikitnya jumlah penduduk.

Ketiga, menurut UU No.12/2008, untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur harus mendapat dukungan tersebar lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota dan untuk bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota harus tersebar lebih dari 50% jumlah kecamatan. Sedangkan, menurut UUPA tidak ada perbedaan jumlah dukungan antara pencalonan gubernur/wakil gubernur dengan bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota. Di mana masing-masing harus memperoleh dukungan minimal 3% dari jumlah penduduk yang tersebar di sekurang-kurangnya 50% dari jumlah kabupaten/kota dan kecamatan.

Dan, keempat, berkaitan syarat usia pasangan calon gubernur/wakil gubernur atau bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota. Dalam UUPA dan Qanun pilkada Aceh disebutkan, berusia minimal 30 tahun. Sedangkan, Pasal 58 huruf d UU No.12/2008, calon gubernur/wakil gubernur minimal 30 tahun dan calon bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota minimal 25 tahun.

Di samping adanya perbedaan pengaturan antara kedua UU umum dan khusus tersebut. Dalam revisi qanun kedepan juga perlu perubahan penggunaan istilah dan penanganan hasil pemilukada. Sebelum dibentuk UU Penyelenggara Pemilu (UU No.22/2007), istilah yang digunakan adalah pilkada dan tidak masuk dalam ranah pemilu. Namun, pasca UU tersebut masuk ranah pemilu dan istilah yang digunakan adalah Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) [Pasal 1 angka 4].

Selanjutnya, berkaitan dengan penanganan hasil sengketa pemilukada juga telah dialihkan dari Mahkamah Agung (MA) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagaimana, diatur Pasal 236C UU No.12/2008, yang dilanjuti dengan pembentukan Peraturan MK No.15/2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.

Potensi konflik hukum?
Perbedaan dan penyebaran pengaturan tersebut tentu telah membuat pemerintahan Aceh, KIP dan masyarakat sedikit bingung dalam merevisi dan mengadobsi substansi qanun. Sehingga, wajar ketika Zainal Abidin, Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KIP Aceh khawatir pemilukada Aceh berpotensi konflik hukum dan gugat menggugat (Serambi, 06/01/2011).

Namun, secara analisis yuridis materil UUPA, kecil kemungkinan adanya potensi konflik hukum, kecuali pemerintahan Aceh tidak mengakomodir kembali pencalonan perseorangan dalam qanun. Alasannya secara normatif yuridis, UUPA sudah eksplisit mengatur, seperti, usia calon (Pasal 67) dan jumlah prosentase dukungan calon perseorangan (Pasal 68) maupun partai politik. Sedangkan, yang tidak diatur secara khusus seperti, pemilukada masuk ranah pemilu, gugatan sengketa hasil dialihkan dari MA kepada MK. Sementara, eksistensi qanun juga menjadi kuat karena langsung perintah Pasal 73 UUPA.

Oleh karena itu, diperkirakan tidak banyak substansi qanun yang akan direvisi dan tidak perlu dikhawatirkan akan terjadinya konflik hukum. Karena, yang sudah eksplisit diatur tentu saja merujuk lex specialist, sedangkan yang belum diatur merujuk kepada lex generalist. Sebagaimana, Pasal 269 ayat (1) UUPA menyatakan, peraturan perundang-undangan yang ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini. Sementara, mengenai gugatan hasil pemilukada itu adalah hak konstitusional peserta yang merasa dirugikan. Karena, kecil kemungkinan tidak adanya gugatan dalam pemilukada ke depan.

Untuk menimalisir kemungkinan gugatan dan potensi konflik sosial-politik secara horizontal saat pemilukada ke depan, maka ada empat komponen harus menjadi perhatian. Pertama, konteks regulasi qanun harus sesuai dengan UUPA dan aspirasi rakyat Aceh. Kedua, penyelenggara pemilu (KIP) harus objektif dan netral. Ketiga, peserta pemilukada, parpol dan perseorangan harus berbudaya hukum dan demokrasi. Dan, keempat, masyarakat harus selektif dan tidak terpengaruh provokasi dan agitasi yang mengarah kepada kepentingan kelompok dan konflik.

* Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Lhokseumawedan Ketua TAKPA.

Bupati Bireuen Jalin Kersama dengan UMM

Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) kedatangan tamu rombongan bupati Bireuen, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Nurdin Abdul Rahman, Jumat (22/01). Ikut serta dalam rombongan bupati, antara lain kepala Dinas Pendidikan dan Olahraga kabupaten Bireuen, Drs. Asnawi, MPd, dan kepala Bapeda, Ir. Razuardi, MT. Rombongan diterima rektor, Dr. Muhadjir Effendy, MAP di ruang transit rektorat dilanjutkan ke ruang sidang senat.

Rektor menyambut hangat bupati dari propinsi paling ujung barat Indonesia itu. “Terima kasih sudah berkunjung di kampus UMM, semoga bisa menikmati suasananya,” kata rektor.

Bupati yang juga anggota Muhammadiyah dan pernah menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Banda Aceh itu mengaku kagum dengan UMM. Dia mengungkapkan, andai saja seluruh universitas Muhammadiyah di Indonesia sebesar UMM tentu pendidikan di Indonesia akan sangat maju. Untuk itu pihaknya tidak ragu lagi untuk menjalin kerjasama dengan UMM.

Untuk saat ini, diakuinya, mahasiswa asal Bireuen yang dikirim ke UMM masih sangat minim. Dari seluruh propinsi NAD, tahun lalu hanya mengirim 26 mahasiswa. “Ke depan, akan banyak calon guru atau guru yang membutuhkan persamaan gelar akan kami kirim ke sini,” kata Nurdin.

Sementara itu, usai menandatangani MoU, rektor berharap kerjasama ini tidak berhenti di atas kertas. Melihat potensi Bireuen, rektor berfikir akan banyak yang bisa dikelola bersama antara UMM dan kabupaten Bireuen. Tentu saja, sebagai lembaga pendidikan, UMM sangat siap menjadi tempat memperkuat kualitas sumberdaya manusia Beureun melalui studi di UMM.

“Kami berharap akan banyak daerah-daerah di Indonesia yang bisa kami rangkul untuk kerjasama, dan kami memulainya dari yang paling barat,” ujar rektor. Sebelum ini, UMM juga sudah sering melakukan kerjasama dengan pihak-pihak di NAD, terutama pasca bencana Tsunami tahun 2004 lalu. UMM bekerjasama dengan kampus setempat, waktu itu, menangani trauma pasca bencana. nas